Bobby tinggal di Jl Padma, sekitar Kampus Universitas Ngurah Rai,
Denpasar Timur. Rumah kontrakan seluas 2,8 are ini, kata Bobby, hasil
main band dan jualan baju.
Hal menarik tentang Bobby adalah hobinya merakit sepeda. Dia mengaku
merakit sepeda sejak masih SD. Hobi itu masih dia lakukan hingga saat
ini meski sibuk ngeband. Salah satu buktinya sepedanya sekarang yang dia
pakai dalam sesi foto. Sepeda ini dia rakit sendiri dari rongsokan
seharga Rp 100.000. “Ini buktinya,” kata dia sambil menunjukkan foto
rongsokan bodi sepeda di Blackberry-nya.
Rongsokan itu kemudian dia rakit sendiri dengan tambahan perangkat lain,
seperti setir, sadel, pedal, dan seterusnya. Total habis sekitar Rp 2
juta. Weleh. Jatuhnya mahal juga, Bli. Hehe..
Selain hobi merakit sepeda, dan tentu saja gowes, Bobby juga suka
mendesain. Karena itu dia juga memproduksi pakaian dengan label sendiri,
Electrohell. Label ini dia buat bersama Rizal Tanjung, temannya sesama
surfer. Sebelum total main musik, Bobby memang surfer. Dia juga membuat
desain pakaian surfing sebelum total main musik di SID dan membuat label
sendiri.
Bobby juga bercerita SID dulu main dari konser ke konser tanpa bayaran
sama sekali. “Dulu diajak main saja sudah senangnya bukan main,”
katanya. Honor profesioanl mereka pertama kali adalah ketika tampil di
acara Granat, konser ala mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Udayana,
Bali.
Waktu itu SID dibayar Rp 400.000. “Pas terima duit itu senangnya bukan
main. Waah, bisa juga dapat duit dari tampil,” kata Bobby.
Tapi itu dulu. Sekarang tarif manggung SID antara Rp 30 juta hingga Rp
50 juta. Tapi, tarif ini sangat bisa dinego. Kalau acaranya besar plus
banyak sponsor, mereka memang pasang tarif segitu. Kalau acaranya amal,
mereka bersedia datang meski hanya dibayar sebotol bir atau setangkai
mawar. Hehe..
Selama sekitar 16 tahun membangun band, kini personil SID menerima
hasilnya. Begitu pula Eka dengan Harley Davidsonnya. Toh, dia
mendapatkan itu semua karena sejak kecil sudah terbiasa bekerja keras.
Tiap kali melihat SID tampil, saya merasa Eka berperan seperti joker,
tukang bikin suasana jadi lebih kocak. Dia menghidupkan suasana dengan
omongan-omongannya, terutama dalam Bahasa Bali.
Namun, pada sesi foto kami di rumah Bobby, kami minta dia berpose sangat
serius dengan menghadap layar komputer. Pose ini disesuaikan dengan
minatnya, internet dan komputer.
Sejatinya, Eka memang geek. Dia salah satu pelopor penggunaan internet
di Bali. Sejak tahun 2000 dia sudah akrab dengan programming dan coding.
Maklum, saat itu dia bekerja sebagai desainer
www.baliaga.com, media harian online milik NusaBali, koran lokal yang sebelumnya bernama Nusa Tenggara.
Eka awalnya lebih banyak bekerja untuk desain grafis. Namun, karena dia
disuruh mengelola website, dia kemudian belajar ngoprek website, belajar
tentang program, coding, CMS, dan tetek bengek seputar website. Dalam
bahasa pekerja teknologi informasi, pekerjaan semacam ini disebut
ngoprek.
Hasilnya, dia makin mahir ngoprek website, mulai dari konsep, desain, sampai coding. Eka pula yang membuat website
www.supermanisdead.net.
“Sampai sekarang juga masih sering ngerjain pesanan website dari
teman-teman,” katanya. Untuk mengerjakan pesanan website itu, Eka punya
usaha sendiri di
www.disposablelies.com. Eka tak mau menggunakan CMS berbasis open source, seperti WordPress, Joomla, dan semacamnya.
“Kalau pakai open source lebih gampang dibobol orang,” katanya.
Untuk semua keahliannya itu, Eka belajar secara otodidak. Dia
satu-satunya personil SID yang lulus kuliah. “Karena merantau. Jadi
kasian kalau sudah jauh-jauh ke Denpasar tapi tidak lulus kuliah,”
katanya.
Eka lahir dan besar di Negara, Jembrana, sekitar 3 jam perjalanan dari
Denpasar ke arah Gilimanuk. Kedua orang tuanya guru. Karena itu, dia
mengaku punya tanggung jawab untuk menyelesaikan kuliah.
Dan, dia berusaha keras untuk menyelesaikan kuliah itu. Pada tahun kedua
kuliahnya, Eka sudah mandiri. Dia bekerja di dua tempat sekaligus. Pagi
di kantor Baliaga. Malamnya di tempat lain. “Aku dulu pekerja keras.
Keras sekali,” katanya.
Terbiasa bekerja keras sejak kuliah itu membuat Eka juga terbiasa dengan SID yang memulai karir dari dunia indie.
Selama mengenal SID dari media atau cerita teman, Jerinx jadi sosok
paling identik dengan SID. Dalam beberapa kesempatan diskusi tentang SID
yang saya ikuti, Jerinx hadir mewakili SID. Jadi, kesan dia sebagai
frontman memang tak terhindarkan.
Lewat status di Facebook ataupun twit personalnya, Jerinx paling sering
mengangkat isu yang bagi banyak orang mungkin kontroversial. Misalnya,
radikalisme, kelompok gay dan lesbian, dan semacamnya. Jerinx terlihat
paling keras kalau ngomong. Sayang, saya tak punya cukup waktu untuk
ngobrol bersamanya secara personal kecuali ketika bersama
teman-temannya.
Namun, selama beberapa hari melakukan reportase tentang SID, saya
menangkap hal totally different dari sosok paling gahar dan sangar di
SID ini.
Hal yang membuat saya salut pada Jerinx adalah kendaraannya. Dia masih
naik motor butut Supra Vit dengan nomor polisi yang sudah memutih.
Motornya juga agak dekil. Motor yang sama saya lihat dipakai Jerinx saat
kami bertemu di Hard Rock Radio.
Di balik nama besarnya sebagai frontman SID, band dengan fans mencapai
1,8 juta orang plus image tentang anak band yang bagi banyak orang
adalah bad boy, penampilan Jerinx di luar panggung biasa saja. Dia lebih
mirip tukang ojek daripada frontman band sejuta umat. Hehe..
Kamis pekan lalu, kami berencana memotret dia pas main surfing. Tapi,
karena dia ada acara di Ubud, maka kami mengikutinya ke sana begitu
selesai berkumpul di kantor manajemen SID.
Dia mau menunggu kami untuk berangkat bersama. Saya merasakan kehangatan
dari Jerinx sebagai teman, atau setidaknya tuan rumah pada tamunya. Dia
rendah hati sekali.. Sepanjang perjalanan menuju Ubud, Jerinx beberapa
kali melambaikan tangan menjawab salam dari orang yang melihatnya.
Di luar urusan musik, Jerinx juga mengelola clothing sendiri dengan
label Rumble. Toko ini berkantor pusat di Kuta. Kini dia membuka cabang
di Ubud persinya samping pintu gerbang Museum Antonio Blanco di dekat
jembatan Tukad Campuhan. Kamis pekan lalu Jerinx ke sana untuk melihat
upacara adat (melaspas) toko bercat hitam dan merah tersebut.
Karena sudah sore dan capek setelah motret seharian, saya tak banyak
bertanya pada Jerinx yang juga sibuk memeriksa persiapan pembukaan toko.
Sore itu toko baru tersebut masih belum berisi apa pun.
Jerinx pernah jadi vegetarian antara 1997-2007. “Tidak tega saja lihat
binatang disembelih,” katanya. Tapi, kini Jerinx sudah makan daging
lagi. “Tidak kuat juga kalau harus selalu menghindari daging, terutama
saat konser,” katanya.
Toh, Jerinx masih menghindari makan daging dari hewan berkaki empat,
seperti kambing, babi, dan sapi. Pantangan semacam ini biasanya
dilakukan oleh pemimpin agama Hindu di Bali, seperti pemangku dan
pedanda. Tapi, Jerinx mengaku mengikuti pantangan ini bukan karena
alasan religiusitas. Lebih karena alasan itu tadi, kasihan.
Alasan Jerinx itu kian menguatkan pendapat saya tentang SID dan para
personilnya. Di balik gemerlapnya, di belakang jutaan penggemarnya para
personil SID ini orang-orang yang amat bersahaja..